Mencermati Fenomena Caleg 
"Kutu Loncat"

Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh sejak Selasa (9/4) hingga 22 April membuka pendaftaran bagi calon anggota legislatif untuk DPRA maupun kabupaten/kota se-Aceh yang akan maju dalam Pemilihan Legislatif (Pileg) 2014. 

Berdasarkan pengalaman masa lampau, dalam setiap kali pemilihan umum (Pemilu), akan banyak muncul caleg yang berganti partai. Dalam bahasa politik mereka sering disebut “kutu loncat”. Penggunaan istilah “kutu loncat” ini sesungguhnya  berkonotasi negatif. Predikat itu lebih cenderung untuk mengatakan mereka yang suka pindah-pindah partai sebagai orang yang kurang setia alias kurang konsisten. 

Secara umum memang seperti itu. Banyak orang yang tak terpakai atau kalah bersaing di partainya lalu mencari “kendaraan” baru. Akan tetapi, tidak semua orang yang pindah partai mengalami persoalan sebagaimana kita sebut tadi. Yang terlihat belakangan ini, para pencari partai itu lebih banyak orang-orang yang partainya tidak lolos menjadi kontestan Pemilu 2014 atau memang orang-orang yang baru terjun ke dunia politik. Misalnya, pensiunan PNS atau TNI/Polri. 

Siapun mereka, masyarakat tetap saja harus mencermati rekam jejaknya. Paling tidak, hal-hal paling prinsip pada seorang caleg yang patut dilihat masyarakat pemilih nantinya adalah terkait moral. Apakah seorang calon legislatif itu pernah terlibat kasus khalwat dan semacamnya. Kemudian apakah seorang caleg pernah terlibat kasus korupsi atau penyelwengan uang rakyat?

Soal koruptor ini menjadi hal paling serius untuk diperhatikan partai-patai politik, KIP, dan masyarakat pemilih tentunya. Apalagi, baru-baru ini Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh memfatwakan bahwa pelaku tindak pidana korupsi hendaknya dikucilkan dari kegiatan sosial kemasyarakatan sebagai sanksi moral terhadapnya. Pertimbangan MPU memfatwakan korupsi, karena tindakan korup telah menghancurkan sendi-sendi pemerintahan, melanggar syariat Islam, adat istiadat, dan budaya. Koruptor cenderung tak memiliki nilai-nilai keimanan, ketaatan, dan kecintaan kepada masyarakat, bangsa, dan negara.

Kita berharap, orang-orang yang tak kita kehendaki menjadi wakil rakyat, benar-benar sadar diri dan tidak mendaftarkan diri menjadi caleg. Parpol, secara kelembagaan juga akan menanggung risiko besar jika sampai meloloskan orang-orang yang secara nyata sudah cacat moral menjadi calegnya. 

Namun, harus diingat, seorang itu cacat moral ukurannya bukan fitnah yang dikembangkan dari mulut ke mulut atau surat kaleng. Sebab, dalam persaingan antarparpol atau antarcaleg, “black campaigne” atau kampanye hitam akan sangat marak nantinya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

ACEH BUKAN PEMBERONTAK TAPI ACEH DULU NEGARA YANG BERDAULAT

Sekilas Kisah Alm. Tengku Tjhik di Tiro Umar (Tengku Tu) Seorang Pahlawan Nasional Aceh.